Senin, 20 April 2009

Memberi Persembahan Sebagai Tanda Ketaatan Pada Tuhan

Imamat 2 : 1 - 10


Menurut keterangan pasal yang mendahului perikop ini (Imamat 1), Korban bakaran adalah korban yang secara keseluruhan dibakar di atas mesbah. Tidak ada yang disisakan (kecuali kulit). Dan korban yang dipersembahkan haruslah korban yang terbaik, sesuai dengan kemampuan atau kekayaan pemberi korban.

Apabila umat datang dari kalangan orang berada (kaya), maka persembahannya adalah dari seekor lembu jantan yang tidak bercela. (maksudnya lembu dalam kondisi yang bagus : sehat dan besar). Mengapa lembu lebih diperuntukkan kepada orang kaya, karena Israel zaman dulu menganggap lembu sebagai binatang yang mahal harganya. Dan karena itu hanya orang kaya saja yang dapat memiliki dan memeliharanya.

Bila datang dari kalangan menengah, maka persembahannya adalah dari seekor domba atau seekor kambing jantan. Dan bila datang dari masyarakat miskin, maka persembahannya adalah burung tekukur atau anak dara merpati.

Pada perikop ini, kita bicara tentang Korban sesajian. Sepintas membaca perikop ini, maka yang kita pahami dengan korban sesajian adalah korban makanan (roti atau bahan-bahan roti). Dan jenis korban ini, kadang-kadang harus dibakar habis seluruhnya di atas Mesbah, tetapi kadang-kadang sebagiannya diambil untuk dimakan oleh para imam.

Dan seperti maksud yang kita jumpai dalam pasal 1, maka bentuk persembahan korban ini haruslah korban dengan mutu yang terbaik. Ayat 1 katakan, harus berasal dari tepung dengan mutu yang terbaik kemudian menuangkan minyak dan membubuhkan kemenyan di atasnya.

Minyak yang dimaksudkan di sini bukanlah minyak sembarangan. Tetapi minyak zaitun, minyak yang terkenal di negeri Israel. Sedangkan kemenyan yang di maksudkan di sini adalah kemenyan semacam damar berwarna putih yang berkualitas tinggi. Yang diimport jauh dari Israel (ada ahli Alkitab mengatakan dari negeri Somalia), karena baunya yang harum dan enak.

Jadi korban sajian yang dipersembahkan ini, baik yang masih bahan-bahannya, atau yang sudah dibakar dan dimasak. selalu merupakan bahan tepung dalam mutu yang terbaik. Untuk kemudian diletakkan di mesbah bakaran atau untuk yang dimakan oleh kaum imam.

Inilah dua jenis korban dari antara jenis-jenis korban yang lain. Dan mungkin banyak yang bertanya apa sebenarnya untungnya dan relevasi korban-korban persembahan seperti itu kita renungkan sekarang ini. Bukankah bentuk-bentuk korban seperti itu tidak lagi dipraktekkan oleh Gereja kita (masa kini)?

Dalam praktek Gereja kita misalnya, …kita mengenal ada persembahan natura, yang sering terjadi dalam ibadah-ibadah khusus. Seperti ibadah pengucapan syukur jemaat. Di mana ada jemaat yang membawa hasil pertanian. Atau ada yang membawa makanan. Tetapi ini berbeda dengan korban sesajian yang mesti diletakkan di atas mesbah dan kemudian harus dibakar habis atau diserahkan untuk dimakan oleh kaum imam. Yang terjadi di sini adalah persembahan seperti itu diuangkan. Menjadi sumber perbendaharaan jemaat. Bukan dibakar habis atau dimakan.

Pertanyaan kita adalah mengapa praktek korban persembahan seperti itu tidak dipraktekkan? Padahal Alkitab begitu terang dan jelas menunjukkan tentang tata cara korban persembahan umat Tuhan.

Menurut hemat saya, ada dua alasan mengapa pratek persembahan seperti itu tidak lagi dilaksanakan oleh Gereja sekarang ini (Khususnya GMIM dan Gereja Protestan lainnya). Alasan pertama adalah alasan praktis, bentuk persembahan demikian akan menjadi suatu beban. Seorang yang memberi persembahan harus selalu siap dengan binatang yang tidak bercacat dan makan dengan kualitas mutu terbaik. Bisa kita bayangkan bila kita mesti mencari binatang piaraan (lembu, kambing, domba, burung) untuk dijadikan korban, padahal kita bukan peternak. Kapan kita memberi korban persembahan. Atau membuat makanan olahan dari tepung dengan mutu terbaik. Bukankah ada perasaan sia-sia, sebab makanan hanya habis terbakar. Jadi secara praktis, korban seperti itu sukar dipraktekkan.

Alasan kedua adalah alasan teologis. Maksudnya, iman kita tidak lagi bergatung pada hukum-hukum, peraturan-peraturan termasuk peraturan-peraturan memberi persembahan, melainkan iman kita bergantung kepada Yesus Kristus. Yesus Kristus telah menjadi korban yang sempurna dari segala korban yang ada. Ibrani 10:14 berkata : “Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan”. Jadi Yesus Kristus tidak meniadakan apa yang dipraktekkan oleh Perjanjian Lama, tetapi Yesus Kritus telah menyempunakan lewat dirinya sendiri sebagai korban.

Kalau demikian mengapa kita harus merenungkan bagian-bagian ini, kalau pada kenyataannya gereja tidak mempraktekkannya lagi korban-korban persembahan seperti itu (Bakaran dan Sesajian).

Sepertinya benar bahwa kita tidak perlu lagi membawa korban bakaran dan sesajian. Tetapi tidak benar kalau kita meniadakan kehendak Tuhan untuk memberikan korban. Sebab dimanapun dan kapanpun Tuhan menginginkan kita mempersembahkan sesuatu kepada-Nya. Itulah arti korban. Yang dalam Roma 21:1 mengandung arti pengabdian diri kepada Allah.

Jadi, kita tidak lagi memberi koban bakaran dan sesajian, tetapi kita perlu mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. lalu mengapa kita mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. Mari kita belajar dari orang Israel mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan.

Pertama yang kita catat, bahwa orang Israel memberi sesuatu kepada Tuhan adalah karena ketaatan. Dalam imamat 1:1 “Tuhan memanggil Musa dan berfirman kepadanya dari dalam kemah pertemuan : “berbicarah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka : Apabila seseorang diataramu mempersembahkan persembahan…”.

Jadi orang Israel memberi persembahan karena ketaatan kepada Tuhan. Mereka tidak mau melanggar perintah Tuhan. sebab bila tidak melakukan perintah Tuhan, itu berarti mereka melanggar kekudusan hidup. Sedangkan untuk menjaga kekudusan mereka harus taat pada perintah Tuhan.

Dan firman Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa sejak dulu, sekarang dan sampai akan datang : orang Kristen harus taat pada kehendak Tuhan. Antaranya taat/setia untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. atau juga taat memberi persembahan.

Jadi apabila kita memberi persembahan dalam ibadah ini, ini adalah bentuk ketaatan kita kepada Tuhan. Dalam suatu percakapan, pernah ada yang mengatakan mengapa di gereja terlalu banyak itu ‘pungutan’. Ada sampul-sampul persembahan. Ada pundi-pundi persembahan. Ada persembahan diakonia. Ada kotak pembangunan, dll. Di kolom-kolom juga begitu : ada persembahan ini dan persembahan itu.

Melalui perenungan ini, kita diingatkan persembahan bukanlah ‘pungutan’ gereja pada jemaat. Mengapa saudara-saudara, sebab tidak ada persembahan yang sifatnya paksaan. II Korintus 9:7 mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Bahwa kita harus memberi, itu benar sebagai ketaatan atau kesetiaan kita kepada Tuhan. tetapi Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk memberi. Karena yang Tuhan inginkan adalah memberi dengan syukur atau sukacita.

Hal yang kedua, orang Israel mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan adalah karena segala sesuatu adalah Milik Tuhan. Hal ini ditandai dengan mempersembahakn korban di atas mesbah Tuhan dan meletakkan tangan di atas korban. Mazmur 24:1 berkata “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya”.

Dengan membawa persembahan ke mesbah Tuhan. orang Israel belajar untuk mengingat bahwa Tuhanlah pemilik segala sesuatu. Dan dengan meletakkan tangan diatas korban, ini mau mengatakan bahwa apa yang menjadi milik umat adalah milik Tuhan. Jadi saudara-saudara, sebenarnya dengan kita memberi persembahan sama halnya dengan kita mengakui apa yang kita miliki adalah milik Tuhan.

Dan inilah dasar gereja, mengapa kita harus memberi adalah karena kita sudah diberi. Kita memberi karena Tuhan memberkati hidup kita. Kita memberi karena Tuhan memberkati pekerjaan kita. Malah kita harus memberi, karena Tuhan sudah memberikan hidupnya untuk kita. Dia memberikan pengampunan dan keselamatan kita.

Jadi kalau kita memberi, jangan pernah kita merasa terpaksa, jangan pernah kita bersungut-sungut. Tapi bersyukurlah dan berterimakasihlah, karena Tuhan sudah memberi hidupnya untuk kita.

Sehingga persembahan kita bukan kita ukur dari berapa besar jumlahnya, tetapi berapa besar terima kasih kita atau berapa besar rasa syukur kita kepada Tuhan. inilah maksud memberi yang terbaik kepada Tuhan.

Jadi terbaik itu jangan kita ukur dari segi kuatitas lagi atau secara lahiriah, tetapi harus diukur dari kualitas iman kita. Seperti khotbah sebelumnya yakni dalam Lukas 21: 2,3 “Yesus menyenangi persembahan seorang janda miskin”. Sebab ia memberi yang terbaik dari apa yang dapat ia lakukan. Janda ini memberi 2 peser untuk persembahannya. Angka yang kecil dibandingkan pemberian orang-orang kaya lain. Tapi nilai 2 peser bagi janda ini sangat berarti. Di mana meskipun ia sulit memenuhi nafkah hidup setiap hari, toh ia mampu memberi persembahan seharga nafkah sehari.

Hal ini mau mengatakan kepada kita bahwa setiap orang punya potensi untuk memberi persembahan yang terbaik. Dalam keadaan apa pun ia!

Jumat, 17 April 2009

Memberi Persembahan Dengan Tulus Hati


Markus 12 : 41 - 44

Perikop ini berbicara tentang suatu kejadian saat Yesus sedang berada di rumah Tuhan atau Bait Allah. Di Bait Allah itu, Yesus sedang memperhatikan cara orang memberi persembahan dalam peti persembahan. Menurut perikop ini, ada dua cara memberi yang menjadi perhatian Tuhan Yesus.

Cara pertama adalah cara orang kaya memberi persembahan. Mereka memberi persembahan dalam jumlah yang besar. Dan cara yang kedua adalah cara janda miskin memberi persembahan. Yakni dengan memberi 2 peser.

Apa tanggapan Yesus terhadap kedua cara memberi persembahan tersebut? Terhadap murid-muridNya, Yesus mengatakan bahwa janda miskin itulah yang memberi lebih banyak dari semua orang yang memasukan uang dalam peti persembahan.

Menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa Yesus menunjuk pada pemberian dari janda miskin itu? Padahal secara jumlah uang yang dipersembahkan sangatlah sedikit jumlahnya. Sebenarnya apa yang salah dari pemberian orang-orang kaya pada waktu itu?

Atau salahkah memberi dalam jumlah yang besar? Saya yakin, pasti akan banyak jemaat yang protes jika pendeta berkhotbah supaya jangan memberi persembahan dalam jumlah yang besar. Mengapa? Karena Jemaat tidak pernah akan menjadi jemaat yang mandiri dan berkembang apabila jemaatnya hanya memberi persembahan dalam jumlah yang sangat minim atau terbatas.

Cobalah kita bayangkan, dengan keadaan dan kebutuhan pelayanan yang semakin banyak lalu jemaat hanya dapat memberi seadanya dan mereka tidak dapat memberi yang terbaik. Apakah mungkin melakukan pelayanan diakonia dan pelayanan misi? Apakah mungkin membiayai kebutuhan hidup keluarga hamba Tuhan (pendetanya) dan staf gereja? Apakah mungkin membiayai program-program pelayanan jemaat? Apakah mungkin memperbaiki dan memelihara gedung gereja? Tidak mungkin. Melainkan kita akan menjadi jemaat yang tidak mampu dan miskin. Yaitu menjadi jemaat yang tidak mempu membiayai pelayanan gerejanya sendiri. Dan ini bukan suatu kesaksian yang baik! Jika jemaat kemudian tidak ada perkembangan atau kedewasaan dalam hal untuk memberi untuk membiayai pelayanan jemaatnya sendiri.

Di Surat II Korintus, ada suatu jemaat yang dipuji oleh Paulus. Jemaat itu bernama jemaat Makedonia. Mengapa Paulus memuji jemaat ini? Sebab jemaat ini, meskipun dapat disebut dengan jemaat yang miskin bahkan terus dicobai dengan berbagai penderitaan berat, tetapi mereka adalah jemaat yang kaya dalam kemurahan. Kata Paulus, dalam hal memberi, justru mereka memberi melebihi dari kemampuan (II Korintus 8). Dengan sukacita, berlomba-lomba untuk ambil bagian dalam pelayanan orang kudus. Bukan hanya soal materi tapi juga soal pemberian diri.

Tetapi mengapa Yesus menunjuk pada pemberian janda miskin dengan mengatakan bahwa ia-lah yang paling baik memberi. Dimana ia telah memberi lebih banyak dari pada orang-orang kaya itu. Apa sebenarnya yang membedakan pemberian janda miskin ini dengan orang-orang kaya pada waktu itu, sehingga bagi Yesus pemberiannyalah yang paling baik?

Sebenarnya, memberi persembahan yang disampaikan umat Allah di dalam bait-Nya adalah tradisi yang berkesinambungan di dalam Sinagoge Yahudi hingga masa Tuhan Yesus, bahkan seterusnya sampai masa gereja mula-mula. Dan biasanya, di dalam Bait Allah di Yerusalem terdapat altar yang menyediakan 13 peti persembahan.

Di kalangan jemaat GMIM sampai saat ini masih ada pro-kontra berapa jumlah pundi persembahan dalam ibadah. Ada yang katakan harus 3: sebab persembahan itu untuk Marturia, Koinonia, dan Diakonia. Tapi ada pula yang mengatakan, cukup satu saja pundinya, sebab pada akhirnya pundi-pundi itu akan di satukan oleh bendahara jemaat.

Malah ada alasan yang lebih praktis yang mengatakan bahwa banyaknya pundi, tidak menjamin banyaknya jumlah persembahan. Kenapa? Karena banyak orang justru menukar uang dalam jumlah yang lebih kecil. Semula mungkin dapat memberi Rp. 5000, tapi karena ditukar maka menjadi Rp. 3000 (di pilah menjadi masing-masing Rp. 1000).

Apakah jemaat kita termasuk memilih hanya satu pundi, tiga pundi, atau lebih? Jumlah sepertinya bukan merupakan ukuran. Malah, di jaman Tuhan Yesus ternyata ada 13 peti persembahan. Bentuk peti-peti itu unik karena seperti torompet. Mulut terompet bagian atas lebih sempit dibanding bagian bawah. Dari bagian atas inilah tiap orang memasukan persembahannya. Biasanya orang-orang kaya memberitahukan jumlah uang yang dijatuhkannya.

Suatu hari, seorang janda miskin juga tidak ingin ketinggalan memberikan persembahan. Dan janda itu memberi persembahan sebesar 2 peser. Mengapa persembahan janda ini akhirnya lebih banyak dari pada orang-orang kaya itu menurut Yesus? Atau mengapa persembahan orang-orang kaya itu yang katakanlah sebesar 200 peser dan janda itu hanya 2 peser justru yang 2 peser yang lebih banyak?

Sebenarnya peser adalah nilai nominal uang terkecil. jadi kalau janda miskin itu memberi 2 peser, maka ketika itu 2 peser sama nilainya dengan biaya makan satu orang perhari. Jadi dari segi jumlah, persembahan janda miskin itu sedikit.

Sedangkan orang kaya yang memberi 200 peser adalah dari sisa kelimpahannya. Apabila orang kaya itu memberi dari seluruh nafkahnya hari itu, maka patutnya ia harus memberi 500 peser. Itulah sebabnya dalam ayat 44 dikatakan "sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkanhnya".

Dari kisah pemberian janda miskin ini kita dapat menyimpulkan, apa sebenarnya yang Tuhan inginkan dari persembahan kita? Yaitu Tuhan menginginkan respon manusia dari segi ketulusan hatinya. Apa motivasi orang itu memberi dalam Kerajaan Allah? Bagaimanapun kita harus mengakui jumlah 200 peser lebih besar dari 2 peser (segi kuantitas), tetapi bagi Yesus, 2 peser yang diberikan janda miskin itu lebih besar dari pada 200 peser persembahan orang kaya (segi kualitas).

Melalui firman ini Yesus hendak mengajarkan kepada kita, termasuk saudara dan saya, bahwa dalam hal memberi persembahan ternyata bukan soal jumlah, tetapi soal motivasi, soal arah, dan tujuan dari persembahan itu.

Timbul pertanyaan lagi, kalau ternyata yang penting itu adalah soal ketulusan hati, apakah itu berarti jumlah tidak penting Ada kata-kata bijaksana mengatakan begini: "Jumlah tidak dengan sendirinya mencerminkan hati. Tetapi hati yang bersyukur selalu tercermin dengan jumlah".

Saudara barangkali mengingat apa yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminyaki Yesus dengan minyak narwatu. Orang-orang yang berada di sekitar Yesus mencelanyanya, dan menganggap perbuatannya sebagai pemborosan saja "buang-buang duit". Tetapi tidak begitu dengan perempuan ini, ia justru melakukan yang terbaik untuk Tuhan, karena ia bersyukur atas kasih dan pengampunan yang Tuhan berikan kepadanya. Dan kita pun mampu melakukan itu, bukan karena kita kaya atau makmur. Tapi karena kita berterima kasih kepada Tuhan.

Banyak orang mengira, memberi persembahan kepada Tuhan sama seperti memberi piutang kepada Tuhan, lalu pada waktu kita memerlukannya, tinggal menagihnya dan Tuhan akan membayar hutang-hutangnya, plus bunganya "Beri banyak-banyak, pasti dapatnya pun banyak". Padahal bukan demikian, kita memberi justru karena kita berhutang kepada Tuhan. Bukan Tuhan yang berhutang kepada kita. Dan hutang itu harus kita bayar, bukan dengan setengah-setengah, tetapi selalu yang terbaik. Apapun keadaan kita : miskin atau kaya. Karena untuk kita semua, Ia telah memberi yang terbaik di kayu Salib.